Maestro Tari Jawa Klasik

Kesenian Tradisional Yogyakarta

Ada banyak kesenian tradisional di Jogjakarta atau Jawa. Berikut ini beberapa kesenian jawa tradisional Jawa, yang juga merupakan budaya Jawa.

WAYANG

Wayang dalam bentuk yang asli merupakan kreasi budaya orang Jawa yang berisi berbagai aspek kebudayaan Jawa. Wayang sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia. Pada jaman Neolitikum pertunjukan wayang awalnya terdiri atas upacara-upacara keagamaan yang berlangsung di malam hari untuk persembahan kepada “Hyang”. Pertunjukan wayang ceritanya menggambarkan jiwa kepahlawanan para nenek moyang yang ada dalam mitologi.

Pada masa sekarang pertunjukan wayang sudah sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertunjukan yang sama dimasa lampau. Dahulu wayang digambarkan sesuai dengan wajah nenek moyang.

Orang Jawa gemar sekali menonton wayang karena ceritanya berisi pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berguna yang dapat dijadikan pedoman dan tuntunan di dalam menjalani hidup di masyarakat. Berdasarkan cerita dan penyajian kira-kira ada 40 jenis wayang yang ada di Indonesia, diantaranya wayang beber, wayang klithik, wayang kulit, wayang krucil dan wayang thengul atau wayang golek. Pementasan wayang selalu diiringi dengan musik gamelan.

WAYANG KULIT

Wayang kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu. Wayang kulit kini telah menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia sehingga banyak orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Pertunjukan wayang kulit sampai saat ini tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya disajikan semalam suntuk.

WAYANG WONG

Wayang Wong berarti wayang yang diperankan oleh manusia. Ceritanya juga hampir sama dengan cerita-cerita pada wayang kulit namun dalangnya disamping sebagai piƱata cerita tetapi juga sekaligus sebagai sutradara panggung.

WAYANG THENGUL / WAYANG GOLEK

Wayang Thengul/Wayang Golek adalah wayang berbentuk boneka dari kayu. ceritanya berasal dari kisah Menak. Orang suka menonton wayang ini karena gerakan-gerakan boneka kayu yang didandani persis manusia ini sangat mirip dengan gerakan orang.

WAYANG KLITHIK

Wayang ini dibuat dari kayu papan dan nama ini berasal dari suara klithik-klithik sewaktu dimainkan dan biasanya ceritanya adalah Damarwulan.

LANGEN MANDRA WANARA

Langen Mandra Wanara yang merupakan kombinasi antara berbagai jenis tarian, tembang, drama dan irama gamelan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional Yogyakarta. Karakteristik tarian ini adalah para penarinya berdiri dengan lutut atau jengkeng sambil berdialog dan menyanyi ‘mocopat’. Cerita langen mandra wanara diambil dari kisah ramayana dengan lebih banyak menampilkan wanara/kera.

KETHOPRAK

Kethoprak adalah kesenian tradisional yang penyajiannya dalam bahasa Jawa ceritanya bermacam-macam berisi dialog tentang sejarah sampai cerita fantasi serta biasanya selalu didahului dengan tembang Jawa. Kostum dan dandanannya menyesuaikan dengan adegan dan jalan cerita serta selalu diiringi dengan irama gamelan dan keprak.

KARAWITAN

Musik gamelan tradisional Jawa yang dimainkan oleh sekelompok Wiyaga dan diiringi oleh nyayian dari Waranggono dan Wiraswara biasanya disebut ‘Uyon-uyon’, sedangkan kalau tanpa diiringi oleh nyayian dari Waranggono atau Wiraswara disebut ‘Soran’.

JATHILAN

Merupakan tarian yang penarinya menggunakan kuda kepang dan dilengkapi unsur magis. Tarian ini digelar dengan irinhgan beberapa jenis alat gamelan seperti Saron, kendang dan gong.

SENDRATARI RAMAYANA

Salah satu sendratari yang terkenal adalah sendratari Ramayana. Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan antara pekerti yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama dari negara Ayodyapala) melawan sifat jahat yang terjelma dalamdiri Rahwana (Maharaja angkara murka dari negara Alengka)

Sendaratari Ramayana dipentaskan di Panggung Terbuka Prambanan secara rutin pada bulan Meisampai Oktober, masing-masing dalam 4 (empat) episode yaitu :

Episode satu: Hilangnya Dewi Shinta

Episode dua:Hanoman Duta

Episode Ketiga:Kumbokarno Leno atau gugurnya Pahlawan Kumbokarno

Episode Keempat: Api suci

Apabila ingin menyaksikan ceritera Ramayana secara ringkas (full story), dapat menonton di Teater Tri Murti Prambanan pada setiap hari selasa, rabu, dan kamis. Alternatif lain bagi mereka yang ingin menonton Sendratari Ramayana di kota Yogyakarta, beberapa tempat yang menyajikan diantaranya di Jl. Brigjen Katamso (Pura Wisata dan Ndalem Pujokusuman)

TARI KREASI BARU

Seni Tari dan seni Karawitan Jawa berkembang terus dengan munculnya tata gerak tari (koreografi) dan iram-irama baru. Salah seorang perintis tari kreasi baru adalah seniman Bagong Kusudiarjo, padepokannya terletak di daerah Gunung Sempu, Kabupaten Bantul.

Sumber: visiting jogja

Statistik Total Tayangan Laman yang datang

Konfigurasikan Kotak Penelusuran:

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian Jawa

Ketoprak Jawa PDF Cetak E-mail

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaKetoprak merupakan kesenian Jawa tradisional yang penyajiannya menggunakan bahasa jawa. Jalan cerita di dalam pementasan Ketoprak bermacam-macam, mulai dialog tentang sejarah, sampai cerita fantasi yang biasanya selalu didahului dengan alunan tembang-tembang Jawa yang indah. Kostum dan dandanannya selalu disesuasikan dengan adegan dan jalan cerita.

Selanjutnya...
Sendratari Ramayana PDF Cetak E-mail

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaSendratari Ramayana sangat terkenal di Yogyakarta. Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan antara pekerti yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama dari negara Ayodyapala) melawan sifat jahat yang terjelma dalam diri Rahwana (maharaja angkara murka dari negara Alengka).

Selanjutnya...
Seni Wayang Jawa PDF Cetak E-mail

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaSeni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat / kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek kebudayaan Jawa. Pertunjukan wayang ceritanya menggambarkan jiwa kepahlawanan para nenek moyang yang ada dalam mitologi.

Selanjutnya...
Tari Jathilan PDF Cetak E-mail

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaJathilan adalah kesenian drama tari dengan adegan pertempuran sesama prajurit berkuda dengan senjata pedang, dimana tarian ini mengutamakan tema perjuangan prajurit yang gagah perkasa di medan perang dengan menunggang kuda dan bersenjatakan pedang.

Selanjutnya...
Upacara Bekakak PDF Cetak E-mail
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaUpacara Bekakak dilaksanakan setiap bulan Sapar, hari Jumat antara tanggal 10-20, dilakukan untuk menghormati awah Kyai dan Nyai Wirasuta yang menjadi abdi dalem Penangsang HB I, bertugas membawa payung kebesaran Pakubuwono I. Oleh masyarakat sekitar, mereka dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping. kesenian khas yogyakarta - kesenian jawa (red)
Selanjutnya...
Upacara Cupu Panjolo PDF Cetak E-mail
Menurut riwayat, Cupu Ponjolo berjumlah tiga buah, ditemukan di laut oleh Kyai Panjolo yang sedang menjala ikan di laut. Oleh masyarakat Desa Mendak, Girisekar, Panggang, Gunung Kidul dipercaya dapat memberi perlambang dan ramalan tentang masa depan desa tersebut. Ketiga buah cupu diletakkan di dalam kotak dan dibungkus dengan ratusan lapis kain mori, disimpan di ruangan khusus.
Menurut riwayat, Cupu Ponjolo berjumlah tiga buah, ditemukan di laut oleh Kyai Panjolo yang sedang menjala ikan di laut. Oleh masyarakat Desa Mendak, Girisekar, Panggang, Gunung Kidul dipercaya dapat memberi perlambang dan ramalan tentang masa depan desa tersebut. Ketiga buah cupu diletakkan di dalam kotak dan dibungkus dengan ratusan lapis kain mori, disimpan di ruangan khusus.
Saat upacara, bungkus kain mori dibuka dan diteliti satu per satu untuk menemukan gambar atau motif yang tertera di kain mori. Gambar tersebut menjadi perlambang atau ramalan terhadap apa yang akan terjadi di masa depan. Upacara ini biasa dilaksanakan pada malam hari menjelang musim hujan (September-Oktober), pada hari pasaran Kliwon.
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaOleh masyarakat Desa Mendak, Girisekar, Panggang, Gunung Kidul dipercaya dapat memberi perlambang dan ramalan tentang masa depan desa tersebut. Ketiga buah cupu diletakkan di dalam kotak dan dibungkus dengan ratusan lapis kain mori, disimpan di ruangan khusus.
Selanjutnya...
Upacara Grebeg Maulud PDF Cetak E-mail
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaGrebeg Maulud merupakan acara puncak dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud, setelah esoknya perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dibawa masuk kedalam Kraton, oleh masyarakat kejadian disebut "Bendhol Songsong".
Selanjutnya...
Upacara Labuhan Pantai PDF Cetak E-mail

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaUpacara Labuhan Pantai mempersembahkan pakaian wanita, alat-alat rias, sirih, bunga dan lain-lain ke Laut Selatan, sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Ratu Kidul penguasa Laut Selatan.

Selanjutnya...
Upacara Saparan Wonolelo PDF Cetak E-mail
Upacara adat ini dilaksanakan oleh penduduk Wonolelo, Wedomartani, Ngemplak Sleman pada setiap bulan Sapar, Kamis Pahing malam Jumat Pon, sebelum tanggal 15 bulan Jawa. Inti dari upacara ini adalah mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo yang menjadi tokoh leluhur keturunan Brawijaya, dianggap sebagai cikal bakal penduduk Wonolelo.
Upacara adat ini dilaksanakan oleh penduduk Wonolelo, Wedomartani, Ngemplak Sleman pada setiap bulan Sapar, Kamis Pahing malam Jumat Pon, sebelum tanggal 15 bulan Jawa. Inti dari upacara ini adalah mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo yang menjadi tokoh leluhur keturunan Brawijaya, dianggap sebagai cikal bakal penduduk Wonolelo.
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaUpacara Saparan Wonolelo dilaksanakan oleh penduduk Wonolelo, Wedomartani, Ngemplak Sleman pada setiap bulan Sapar, Kamis Pahing malam Jumat Pon, sebelum tanggal 15 bulan Jawa. Inti dari upacara ini adalah mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo yang menjadi tokoh leluhur keturunan Brawijaya, dianggap sebagai cikal bakal penduduk Wonolelo.
Selanjutnya...
Upacara Sekaten PDF Cetak E-mail
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaNabi Muhammad S.A.W. lahir pada tanggal 12 Bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun Jawa. Di Yogyakarta, kelahiran Nabi Muhammad diperingati dengan Upacara Grebeg Maulud. Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. yang diselenggarrakan pada tanggal 5 - 12 dari bulan yang sama.
Selanjutnya...
Upacara Siraman Pusaka PDF Cetak E-mail
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaPada hari selasa Kliwon atau jumat Kliwon pada bulan Jawa Sura, Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara siraman untuk membersihkan pusaka-pusaka keramat dan kereta-kereta istana.
Selanjutnya...
Upacara Tumplak Wajik PDF Cetak E-mail
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaDua atau tiga hari sebelum upacara Grebeg berlangsung, dilakukan upacara Tumplak Wajik, bertempat dihalaman Kemandungan Selatan (Magangan) Kraton Yogyakarta. Upacara Tumplak Wajik, berarti menumpahkan wajik (sejenis makanan yang terbuat dari ketan) sebagai dasar untuk membuat gunungan. Upacara ini diiringi dengan musik kothekan (musik lesung dan kenthongan).
Selanjutnya...
Upacara Tunggul Wulung PDF Cetak E-mail
Upacara Tunggul Wulung diadakan oleh masyarakat Tengahan, Sendang Agung, Minggir, Sleman pada sekitar bulan Agustus, hari Jumat Pon sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang melimpah dan untuk menghormati Ki Ageng Tunggul Wulung beserta istrinya.
Upacara Tunggul Wulung diadakan oleh masyarakat Tengahan, Sendang Agung, Minggir, Sleman pada sekitar bulan Agustus, hari Jumat Pon sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang melimpah dan untuk menghormati Ki Ageng Tunggul Wulung beserta istrinya.
Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaUpacara Tunggul Wulung diadakan oleh masyarakat Tengahan, Sendang Agung, Minggir, Sleman pada sekitar bulan Agustus, hari Jumat Pon sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang melimpah dan untuk menghormati Ki Ageng Tunggul Wulung beserta istrinya.
-------------------------------------------------------------
sumber:http://katalogkota.com/kesenian-khas-yogyakarta-kesenian-jawa

Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian Jawa Upacara Grebeg Maulud


Kesenian Khas Yogyakarta - Kesenian JawaGrebeg Maulud merupakan acara puncak dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud, setelah esoknya perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dibawa masuk kedalam Kraton, oleh masyarakat kejadian disebut "Bendhol Songsong".
sumber:http://katalogkota.com/kesenian-khas-yogyakarta-kesenian-jawa/upacara-grebeg-maulud

Puncak acara ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masjid Agung. Setelah di Masjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagian gunungan dibagi-bagikan kepada masyarakat dengan jalan diperebutkan. Bagian dari gunungan ini ditanam dilahan pertanian, agar tanaman menjadi subur, dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman.

cerita pendek(bahasa jawa) tentang berbagai macam macam seni dan budaya yogyakarta

BONSAI

Wis meh sedina Drajat nunggu Rista, bojone sing arep nglairake. Bola-bali Drajat ke­prungu sambat lan jeritane bojone sing nembe berjuang ngliwati maut. Kanggo nylimur pikire sing ora karuwan, Drajat nyoba ngobrol karo wong sing uga nunggu ana ing rumah bersalin kuwi. Nanging mbuh ngapa, apa wae sing dadi bab rem­bugane, kabeh kaya ora mathuk. Pikire Drajat tambah ora karuwan, deweke ban­jur wira-wiri kaya wong linglung. Saya cetha menawa saiki Drajat lagi ora kepenak ati.

“Adhuh, aku ora kuwat!”

Drajat kaget. Krungu sambate Rista, Drajat kaya ditangekake saka ngimpi sing ala. Drajat banjur kelingan ana ing wayah sore nalika Rista kandha menawa dhewe­ke mbobot. Krungu mangkono Drajat ban­­jur mbopong Rista, dirangkul lan di ambungi. Sedina wutuh Drajat mesam-mesem dewe..

Read More»»

ORA KAGODHA

Anggone nyambut gawe dadi tukang becak wis suwe banget, wiwit manten anyar nganti nduwe anak papat. Isih diayahi kanthi rasa tanggung jawab sarta ora nduweni rasa aras-arasen babar pisan. Kanggone Durasim, kendharaan rodha telu kuwi wis dianggep kaya dene sawah sing wulu pametune kanggo ngu­ripi anak bojo mben dinane. Satemene biyen tau banting stir bakulan pitik sing ora patiya rekasa. Ning jebul malah kerep rugi. Mbomenawa wae pancen wis ditak­dirake dening sing ngecet lombok ma­nawa garis uripe kadidene tukang mancal becak.

Dina kuwi isih jam sepuluhan nanging panase wis krasa sumelet. Karo methang­krong neng ndhuwur becake, bola-bali Durasim ngelapi raine sing gemrobyos nganggo andhuk cilik kang dikalungake gulu. Durasim ajeg mangkal neng pra­patan ringin kembar…

Read More»»

SEPURE WIS MANGKAT

AKU nyawang arloji, jam 10 kurang limang menit. Saka speakere stasiun Tawang, Semarang keprungu lamat-lamat lagune Sony Jozh. Ora rinasa eluhku tumetes. Tembang kang mentas tak rungu mau malah njejuwing rasa pangrasaku. Kaya lagi nyemoni apa kang tak lakoni saksuwene iki. Gawang-gawang ing mripatku lelakon seminggu kepungkur ing stasiun iki ya ing kursi kang saiki tak lungguhi. Lelakon kang njalari ati kang sasuwene aku bebojowan mati dadi urip maneh.

Anggonku bebojowan cukup suwe nanging durung kaparingan momongan. Sepining batinku saya ngambar-ambra awit saploke ningkahan arang kadhing kumpul bojo merga dipisahake dening jarak..

Read More»»

Candi Borobudur

Posted: Januari 19, 2011 by ariefnovianto in Artikel

Lokasi dan Pembuatan

Candi Borobudur merupakan nama sebuah candi Buddha yang terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah baratdaya Semarang dan 40 km di sebelah baratlaut Yogyakarta, dan berada pada ketinggian kira- kira 265,4 m di atas permukaan laut.
Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Candi ini diduga dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja Kerajaan Mataram Kuno. Pembangunan candi itu diduga selesai pada 847 M. Menurut Prasasti Klurak (784 M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samaratthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

Asal dan Jejak Kata “Borobudur”

Nama Borobudur sendiri masih mengandung banyak penafsiran dan banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalnya, kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara berasal dari kata vihara (Sansekerta) yang artinya kompleks candi atau biara dan budur yang berasal dari kata beduhur yang berarti di atas. Dengan demikian, Borobudur berarti “biara di atas bukit” yang mungkin diidentifikasikan dengan sebuah gunung yang berteras-teras (budhara). Sumber lain mengatakan Borobudur berarti “biara yang terletak di tempat tinggi”.(…)

Read More»»»

Aksara Jawa Rumit?

Posted: Januari 10, 2011 by ariefnovianto in Artikel

d1
Banyak bangsa beradab yang masih memanfaatkan tulisan gambar dalam tradisi tulis menulisnya. Bangsa Jepang yang maju industrinya masih memanfaatkan aksara kanjinya dalam tradisi komunikasi tertulisnya, demikian juga dengan Cina, Korea, negara-negara di Timur Tengah. Mengapa orang-orang Jawa bersikukuh dengan huruf latinnya, sementara mereka juga memiliki aksara Jawa? Kapan generasi muda dapat mem”feysen”kan aksara Jawa dalam pergaulannya seperti halnya terjadi negara-negara maju. Jepang begitu fashionable dengan kanji, Arab Saudi fashionable dengan huruf Arab, India yang maju industri filmnya juga fashionable dengan huruf Hindinya, dan sebagainya. Kalau saja aksara Jawa dapat digunakan seperti halnya aksara Hindi (India), mungkin kita telah maju selangkah lagi dalam pembudidayaan budaya lokal.
d2

Bahasa Jawa memiliki unsur-unsur yang sangat kompleks, antara lain: gramatikal, aksara, kosa kata, peribahasa, dasa nama, tata krama bahasa. Masing-masing unsur memiliki bagian-bagian yang lebih lengkap lagi. Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf: ha na ca ra ka; da ta sa wa la; pa da ja ya nya; ma ga ba tha nga dengan 20 pasangannya.

d3

Aksara Jawa mengandung legenda di dalam penyusunannya, yang kurang lebih demikian: Konon tersebutlah dulu Aji Saka yang telah menjadi penguasa di sebuah kerajaan (disinyalir Medang Kamulan). Kemudian dia mengutus seorang yang dipercayainya untuk mengambil barangnya yang dia tinggal di tempat lain. Utusan itu (caraka) segera pergi menemui orang yang dimaksud. Akan tetapi utusan yang membawa barang tadi (penjaga) sepertinya tidak percaya kalau orang yang datang kepadanya itu juga caraka dari Aji Saka.

Keduanya saling beradu pendapat, saling ngotot mempertahankan keyakinan masing-masing: siapa yang berhak membawa barang milik Aji Saka, siapa yang lebih dipercaya sama tuannya. Keduanya tidak menemukan komunikasi yang efektif, yang ada hanya perang mulut berlanjut ke perang uji kesaktian. Keduanya terbukti sakti semuanya, tidak terkalahkan dan tidak terpisahkan. Akhirnya keduanya mati bagai bangkai. “Anjing rebutan tulang” itulah perumpamaannya. Begitu Aji Saka melihat kenyataan tersebut, maka tersusunlah huruf Jawa.

“Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Da Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga”.

Ada dua caraka, yang saling berselisih paham, sama-sama hebatnya, mati bersama. (…)

Read More»

Selayang Pandang Batik Indonesia

Posted: Januari 10, 2011 by ariefnovianto in Artikel

Pendahuluan

Batik merupakan seni melukis yang dilakukan di atas kain. Dalam pengerjaannya, pembatik menggunakan lilin atau malam untuk mendapatkan ragam hias atau pola di atas kain yang dibatik dengan menggunakan alat yang dinamakan canting. Secara etimologi, batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti menulis dan “tik” yang berarti menitik.

Indonesia memiki banyak karya budaya. Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang yang memiliki kelebihan tersendiri dibanding peninggalan budaya Indonesia lainnya. Nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri.

Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang selain membutuhkan ketelatenan dan keuletan, juga memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain (pencucian, pelorodan, pengetelan, pengemplongan), membuat pola (ngelowongi), membuat isian (Ngisen-iseni), Nerusi, Nembok, hingga Bliriki. Melalui serangkaian proses panjang tersebut, dapat diketahui bahwa proses pembuatannya membutuhkan waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.
Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses pembatikan, qualitas pembatikan, motif, dan warna batik (bagi beberapa orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam selembar kain batik).
Secara visual, batik mempunyai pakem-pakem tertentu yang mesti diterapkan dalam penggunaannya, baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau upacara ritual yang akan diselenggarakan. Seperti contohnya pola Parang Rusak yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.
Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami, pasalnya pada masa itu belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam, merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai seni”, bukan seni untuk sebatas harta.
Macam-macam Desain Batik
Pada umumnya, ada dua jenis desain batik, yaitu: geometris dan non-geometris
1. Geometris
a. Motif Parang dan diagonal
b. Persegi/persegi panjang, silang atau motif Ceplok dan Kawung
Motif ceplok (kiri) yang muncul pada patung Syiwa di candi Singosari
c. Motif bergelombang (Limar)

2. Non-Geometris
a. Semen
Motif semen terdiri dari flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai secara harmonis. (…)

Read More»»»

Gamelan Dalam Artefak Budaya

Posted: Januari 10, 2011 by ariefnovianto in Artikel

Gamelan Dalam Artefak Budaya

Bagi masyarakat Indonesia, di Pulau Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan. Mereka—orang Jawa maupun Sunda—tahu mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan, sekali pun orang bersangkutan tak bisa memainkannya. Mereka mengenal istilah gamelan, karawitan, atau gangsa. Akan tetapi, barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa.

Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni:
1. wayang,
2. gamelan,
3. ilmu irama sanjak,
4. batik,
5. pengerjaan logam,
6. sistem mata uang sendiri,
7. ilmu teknologi pelayaran,
8. astronomi,
9. pertanian sawah,
10. birokrasi pemerintahan yang teratur.
Dengan begitu, bila pendapat Brandes tak keliru, kesepuluh butir keterampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa India. Ini benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah—meski tahun yang tepat sulit diketahui karena masyarakatnya belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak gamelan pada masa prasejarah.
Gamelan merupakan produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian; dan kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, meski wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antarbangsa terjadi kontak budaya, keseniannya pun ikut bersinggungan, sehingga dapat terjadi satu bangsa menyerap bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu, sejak keberadaannya, gamelan sampai sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.
Istilah “karawitan” yang merujuk pada kesenian gamelan, banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan dalam hal penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus, atau rumit. Konon, di lingkungan keraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian, seperti tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002: 5-6).
Dalam pengertian yang sempit, istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut ini (Supanggah, 2002: 12): menggunakan alat musik gamelan—sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog—sebagian atau semuanya; menggunakan laras (tangga nada) slendro dan/atau pelog, baik instrumental gamelan atau nongamelan maupun vokal atau campuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah mendunia. Maka itu, cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malah tidak peduli terhadap seni ini. Bangsa lain malah sangat apresiatif dan tekun mempelajari gamelan, “mengalahkan” masyarakat pribumi sebagai ahli waris karya agung nenek moyang ini.
Sumber Data tentang Gamelan
Kebudayaan Jawa dan Nusantara umumnya, mulai memasuki zaman sejarah, ditandai dengan adanya sistem tulisan. Selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi, kebudayaan Jawa mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Unsur-unsur budaya India, salah satunya, dapat dilihat pada kesenian gamelan dan seni tari, melalui transformasi budaya Hindu-Buddha.
Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan pada sumber verbal, yakni sumber tertulis berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Pun, sumber ini berupa sumber piktorial, seperti relief yang dipahatkan pada bangunan candi, baik candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 hingga ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur, kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh-tabehan” (dalam bahasa Jawa Baru “tabuh-tabuhan” atau “tetabuhan”, berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).
Zoetmulder menjelaskan kata “gamĆØl” dengan alat musik perkusif, yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa, ada kata “gĆØmbĆØl” yang berarti alat pemukul. Dalam bahasa Bali, ada istilah “gambĆØlan” yang kemudian mungkin menjadi istilah gamelan. Istilah gamelan telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Pada masa Kadiri (abad ke-13 M), seorang ahli musik Judith Becker mengatakan bahwa kata gamelan berasal dari nama seorang pendeta Burma yang seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah gamelan dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan; namun ternyata tidak. (… )

Read More»»»

Makna Keris Dalam Kebudayaan Jawa

Posted: Januari 4, 2011 by ariefnovianto in Artikel
Keris ialah sejenis senjata pendek kebangsaan Melayu yang digunakan sejak melebihi 600 tahun dahulu. Senjata ini memang unik di dunia Melayu dan boleh didapati di kawasan berpenduduk Melayu seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan (Mindanao), dan Brunei.
Keris digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya sewaktu bersilat) dan sebagai alat kebesaran diraja. Senjata ini juga merupakan lambang kedaulatan orang Melayu. Keris yang paling masyhur ialah keris Taming Sari yang merupakan senjata Hang Tuah, seorang pahlawan Melayu yang terkenal.
Keris purba berasal dari Kepulauan Jawa telah digunakan antara abad ke-9 dan ke-14. Senjata ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu mata, hulu, dan sarung. Keris sering dikaitkan dengan kuasa mistik oleh orang Melayu pada zaman dahulu. Antara lain, kepercayaan bahwa keris memunyai semangatnya tersendiri.
Keris menurut amalan Melayu tradisional perlu dijaga dengan cara diperasapkan pada masa-masa tertentu, malam Jumat misalnya. Ada juga amalan mengasamlimaukan keris sebagai cara untuk menjaga logam keris dan juga untuk menambah bisanya. Ada pepatah yang menyatakan: “Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya.” Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang, itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu. Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap).
Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa, yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk), dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol “kejantanan”. Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini, Allah SWT menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapak angkasa dan ibu bumi/pertiwi.
Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Keraton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho). Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi kompleks Keraton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagaikebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditas bisnis yang tinggi nilainya.
Tosan aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan,seperti rencong di Aceh, badik di Makassar, pedang, tombak berujung tiga (trisula), keris bali, dan lain-lain.
Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra. Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu. Dengan begitu, kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat memengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa). Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekadar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang, dan mau menangnya sendiri seperti watak Arya Penangsang….

Read more »

Sebuah Legenda Maestro Keroncong

Posted: Desember 31, 2010 by ariefnovianto in Artikel
Gesang Martohartono

Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa menjadi legenda di masyarakat. Satu dari yang sedikit itu, ialah maestro keroncong asal Solo, Gesang Martohartono, pencipta lagu Bengawan Solo. Sebuah lagu keroncong yang menyeberangi lautan. Lagu yang sangat digemari di Jepang. Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Lagu yang telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

Dan, tak banyak pula dari penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa bertahan hingga usia 85 tahun. Gesang bahkan telah membuktikan bahwa dalam usianya yang ke-85 tahun, masih mampu merekam suaranya. Rekaman bertajuk Keroncong Asli Gesang itu diproduksi PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta, September 2002.

Peluncuran album rekaman itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun Gesang ke-85, yang diadakan di Hotel Kusuma Sahid di Solo, Selasa (1/10) malam. Hendarmin Susilo, Presiden Direktur GMP, menyebutkan produksi album rekaman Gesang yang sebagian dibawakan sendiri Gesang, merupakan wujud kecintaan dan penghargaannya pada dedikasi sang maestro terhadap musik keroncong.

Sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati, Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo.

Ini memang lebih sebagai album penghormatan atas sebuah legenda daripada sebuah produk yang tak punya selling point. Dalam album ini suara Gesang agak “tertolong” karena didampingi penyanyi-penyanyi kondang: Sundari Soekotjo, Tuty Tri Sedya, Asti Dewi, Waldjinah.

“Terus terang, suara saya jelek. Apalagi saat rekaman itu saya sedang sakit batuk, sehingga terpaksa diulang-ulang hingga, ya, lebih lumayan,” ungkap Gesang polos. Menurut dia, sebenarnya aransemen dan iringan musik oleh Orkes Keroncong Bahana itu dia rasa kurang cocok untuk kondisi vokalnya.

***
Baca Selanjutnya »

We Cen YU Mengubah Hidup Didi Kempot

Posted: Desember 30, 2010 by ariefnovianto in Artikel
Cen Yu Mengubah Hidup Didi Kempot

“Wah kamu anak Ranto Gudel ya ?”, mendengar pertanyaan itu Didi Kempot remaja yang sedang asyik mengamen tak jauh dari rumahnya, langsung ambil langkah seribu. Didi, di masa remajanya memang dikenal sebagai anak bandel, pemberani, dan nekat. Maka nekat pula ketika ia memutuskan untuk mengamen di sebuah rumah yang hanya berjarak delapan rumah dari tempat tinggalnya. “Saya mulai mengamen ketika masih kelas 3 SMP”, ungkap Didi. “Saya ngamennya sembunyi-sembunyi, takut ketahuan Bapak”, ungkap pria bernama asli Didi Prasetyo ini. “Awalnya mengamen juga hanya sekedar tes mental”, imbuh Didi sambil terkekeh.

Gitar pertama yang Didi miliki merupakan buah kebandelannya. “Ketika kelas 2 SMA, sepeda pemberian Bapak saya jual untuk membeli gitar”, ungkap Didi. Berbekal gitar seharga 4000 rupiah itulah Didi mengembara sebagai pengamen, dan Jakarta menjadi tujuannya. Bagi Didi, seperti juga yang ada dalam benak banyak orang, nampaknya Jakarta masih menjadi primadona untuk mewujudkan mimpi.

Didi Kempot, sebagai anak seorang Ranto Gudel, anggota Group Lawak Srimulat yang saat itu sedang jaya-jayanya, sebenarnya kehidupannya cukup berada. Tetapi keinginan yang besar untuk mandiri, mengalahkan nasehat ayahnya, yang menginkan Didi sukses di sekolah. Berbekal nasehat ayahnya yang berbunyi,”Masa depanmu tergantung kamu sendiri”, berangkatlah Didi ke Jakarta.

Mengamen dan mencipta lagu

Ketika pertamakali Didi menginjakan kaki tanah Jakarta, Mamik Srimulat, yang juga kakak Kandung Didi sudah cukup dikenal sebagai pelawak yang sukses. Namun hal itu tidak membuat Didi mau berenak-enak tinggal bersama kakaknya. Malah ia memilih tinggal bersama kawan-kawannya, dengan mengontrak sebuah rumah yang mepet dengan kandang kambing. “Saya ingin seperti Mas Mamik, yang memulai karir dari nol”, ungkap Didi.

Bakat seni memang mengalir deras di darahnya. Didi pun mulai mahir mencipta lagu. “Lagu-lagu yang saya ciptakan tadinya hanya saya nyanyikan sendiri saat mengamen”, ungkap Didi. Karena lagu-lagu ciptaan Didi sangat indah untuk dinyanyikan, lama kelamaan banyak pengamen jalanan yang sering membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dari situ mulai Didi dikenal di banyak orang. Sampai suatu ketika kelompok Lenong Bocah mengajak untuk rekaman di TVRI. “Meski honornya tidak seberapa tetapi bangganya itu lho … luar biasa”, jelas Didi……….

Baca Selanjutnya »

Basiyo

Posted: Desember 27, 2010 by ariefnovianto in Artikel
Tag:
basiyo
Profil Basiyo

Basiyo adalah pelawak dari Yogyakarta. Dalam penjelasan Sunardian Wirodono, pelawak Basiyo mampu melintasi batas ruang dan waktu. Meski mungkin bagi sebagian besar Indonesia tidak mengetahui siapa itu Basiyo, namun mereka yang berlatar Jawa (Mataram) relatif mengenalnya. Tidak peduli orangtua, orang muda, orang kota, orang desa,orang berpendidikan dan tidak.
Basiyo dipercaya meninggal dalam usia 70-an yakni pada tahun 1984. Jadi, kira-kira, beliau kelahiran 1910-an. Basiyo terkenal dengan lawakan yang banyak orang mengistilahkan dengan “Dagelan Mataram”. Dagelan Mataram (Yogyakarta) adalah jenis lawakan yang kemudian dipakai oleh Ibu Sri Mulat, untuk pergelaran kelilingnya (1940-an) yang kemudian dijadikan maskot pertunjukannya yang kemudian dikenal bernama Srimulat (Surabaya). Karena itu, pemain Srimulat pada awal-awalnya adalah pelawak dari Yogyakarta. Dialog dalam lawakan Dagelan Mataram menggunakan Bahasa Jawa sebagaimana yang kemudian juga dipakai oleh Basiyo.

Sebagian “sparing partner” dalam lawakannya di antaranya:
Darsono,
Hardjo Gepeng,
Suparmi,
dan Sugiyem, istrinya sendiri serta teman – temannya yang lain.
Kebanyakan, mereka adalah karyawan RRI Nusantara II Yogyakarta, sebagaimana kebanyakan dari mereka ditampung oleh Pemerintah waktu itu. Di antara karya – karya Basiyo misalnya: Basiyo mBecak, Degan Wasiat, Kapusan, Kibir Kejungkir, Maling Kontrang-kantring, Gathutkaca Gandrung, Besanan, dan masih beberapa lagi lainnya, semuanya mencapai lebih dari 100-an judul.

Ia bukan hanya pelawak, melainkan juga berhasil mempopulerkan jenis gending “Pangkur Jenggleng”, yakni, cara menyanyi (nembang) Jawa yang bisa diselingi dengan lawakan, tanpa kehilangan irama (tone) dari tembang yang sedang dibawakan. Cara memukul gamelan pun, tidak lazim, karena lebih mengandalkan kendhang sebagai “dirigen” untuk akhirnya pada ketukan (birama) terakhir dipakai sebagai waktu untuk memukul semua alat musik perkusi (terutama saron) sekeras-kerasnya. Meski menggunakan bahasa Jawa dan “produk lama”, nama Basiyo muncul kembali. Banyak anak muda (umumnya pekerja kreatif dari Yogyakarta yang bekerja di Jakarta), adalan penggemar Basiyo. Mereka bahkan mengubah audio kaset ke MP3 dan menyebarluaskannya lewat internet. Menurut anak-anak muda itu (tentu saja yang paham bahasa Jawa), lawakan Basiyo jauh lebih bermutu,lebih cerdas, dibandingkan lawakan pelawak-pelawak yang sering muncul di layar kaca televisi sekarang ini. Dalam masa jayanya, Basiyo acap berkolaborasi dengan nama-nama seniman kondang pada dunia dan masanya, seperti Bagong Kussudiardjo, Ki Narto Sabdo, Nyi Tjondrolukito. Beberapa pengagumnya, eperti budayawan Umar Kayam, pelukis Affandi, sastrawan Arswendo Atmowiloto,
memuja Basiyo sebagai pelawak yang cerdas, memiliki daya spontanitas dan nalar yang jernih. Hasil karya Basiyo pada umumnya diterbitkan oleh perusahaan rekaman Fajar Borobudur Record ada juga Irma (atau Ira?) kesemuanya di Semarang, meski ada juga yang direkam oleh Lokananta (Sala). Informasi mengenai perusahaan rekaman ini masih belum didapatkan.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Basiyo

Bagi yang ingin mendengarkan atau mengunduh MP3 Pak Basiyo silahkan Download disini: Di sebelah kiri atas artikel ini atau di menu atas yaitu; Dhagelan»Basiyo»Judul/lakon. Selamat Menikmati & Trimakasih telah meluangkan sedikit waktu untuk singgah di Sini.

Ki Timbul Hadiprayitno

Posted: Desember 19, 2010 by ariefnovianto in Uncategorized

KI TIMBUL HADIPRAYITNO, DALANG SPESIALISASI RUWATAN

Terlahir dari orang tua Guno Wasito dan Sinah, pada 67 tahun yang lalu di desa Bagelen, Kebumen. dia anak bungsu dari 3 bersaudara.Menikah sudah tiga kali, dan dikarunia anak dari ketiga istrinya tersebut sebanyak 14 anak. Ki Timbul memang berasal dari keluarga dalang. Ibunya adalah anak seorang dalang Ki Proyo Wasito yang memiliki adik perempuan Tini; dan bu Tini melahirkan dalang tersohor Ki Hadi Sugito dari Kulon Progo. Dalam lingkungan keluarga dalang seperti itulah yang ahkirnya memupuk pertumbuhannya sedari dia masih bocah.

Walaupun Ki Timbul dibesarkan dalam lingkungan keluarga dalang tetapi dia merasa bahwa belum cukup kalau mendalang hanya berdasarkan pada warisan keluarga saja, maka diapun mengikuti sekolah dalang di Kraton Yogyakarta (Habiranda). Tetapi dia tidak smapia selesai dan hanya berjalan selama dua tahun saja, hal itu disebabkan karena tanggapan-demi tanggapan datang silih berganti. Walaupun begitu ia masih tetap menghargai peran dan fungsi literatur-literatur yang menyangkut dunia pedalangan. Bahkan di usia yang sudah senja ini sampai sekarang masih mempelajari dan membaca buku-buku literatur untuk memperkaya pengetahuan dan mengasah kemampuannya. Hal ini ia lakukan karena dia menganggap bahwa kalau hanya mengandalkan dari bakat alam saja maka lama kelamaan akan kering dan tidak berkembang, padahal perubahan dan perkembangan dalam m,asyarakat peminat wayang kulit begitu pesatnya.

Dengan mengikuti perkembangan pada masyarakat dan terus belajar dari literatur-literatur yang ada, Ki Timbul ahkirnya berani mengangkat lakon langka yang dikenal dengan lakon-lakon Banjaran. Tanpa kemauan belajar dan menguasai lakon dengan sungguh-sungguh sulit bagi dalang untuk dapat menguasai dan mengangkat lakon banjaran tersebut. Karena lakon Banjaran tersebut tidak ada dalam literatur-literatur wayang. Jarang dalang-dalang sanggup mengangkat lakon tersebut apalagi dapat mengangkat dengan baik seperti yang dilakukan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Lakon-lakon banjaran yang pernah diangkat oeh Ki Timbul sudah banyak diantaranya adalah Banjaran Sengkuni, Dorna, Gatotkaca, Kresna, Werkudara, maupun Karno. Dia memberikan sran kepada sesama rekan dalang kalau hendak mengangkat lakon Banjaran hendaklah menggunakan versi Mahabarata, kalau hanya menggunakan versi dalang saja maka tidak mungkin terjadi karena versi dalang perkembangngannya sudah demikian luas dan sudah sulit untuk melacaknya.

Karena seringnya melakonkan Banjaran, maka banyak pihak yang ahkirnya meminta dia melakukan ruwatan. Hal ini merupakan suatu tantangan baru bagi Ki Timbul. Walaupun ia pernah melakukan ruwatan selama beberapa kali pada awal tahun 1970-an, namun ia belum merasa sreg dan mapan, karena merasa ada sesuatu yang kurang. Untuk melengkapi hal yang ia anggap kurang dalam melakukan ruwatan dia bertapa brata di gua Langse, Parangtritis dan juga berpuasa ngebleng (tidak makan dan tidak minum) selama tiga hari tiga malam. Di dalam gua tersebut dia menyalin (“mutrani” alias “tedhak sungging”) sebuah buku Ruwatan aslinya diterangi sebuah lilin, dia menulis menggunakan pena dan tinta dari botol. Proses semedi dan laku puasa yang dia lakukan adalah sebuah upaya dari Ki Timbul untuk memperoleh sebuah mantram batin yang harus dimiliki oleh seorang dalang ruwatan.

Ketika ia meruwat anak sukerto seorang dalang memberikan wejangan kepada Bethara Kala, berupa ucapan mantram batin dan mantram lisan. Untuk mantram lisan dapat diperoleh dari buku Ruwatan hasil salinannya, tetapi untuk mantram batin harus sudah hafal dengan sendirinya dan sudah menyatu dalam diri pribadi si dalang. Lakon ruwatan merupakan lakon asli dari Jawa, bukan dari Mahabarata atau ramayana, karena lakon ruwatan tersebut merupakan hasil dari suatu pemahaman kulture religius dalam suatu ritus kejawen. Ki Timbul setiap kali diminta untuk meruwat, dia akan tetap mempersiapkan batin dengan bertapa brata, dia tidak akan peduli dengan motivasi ganda dari ruwatan tersebut, yaitu ada yang sebagian orang yang menganggap dan percaya bahwa anak sukerto wajib diruwat, sedangkan ada sebagian orang yang hanya menganggap bahwa ruwatan hanya untuk mengangkat setatus sosialnya. Dalam bertapa brata dia melakukan puasa tidak makan nasi dan garam, hanya memakan buah-buahan seadanya selama tiga hari tiga malam. Ki Timbul tetap konsisten pada prinsipnya, dan tidak goyah serta waton, karena dia menganggap melaksanakan tugas spiritual yang dibebankan padanya atas dasar kepercayaan penuh. Sebagai contoh ketika dia mendapat kontrak rekaman dalam bentuk kaset, dia tetap berpakaian jawa komplit dengan kerisnya, dan lengkap dengan blencong yang menyinari kelir. Inilah sikap yang selalu dipegang oleh Ki Timbul dalam melihat bahwa lakon-lakon yang dimainkan oleh dalang adalah suatu penggambaran dalam kehidupan dalam masyarakat, dan sepantasnya tidak dilakukan dengan sembarangan/sembrono.Dia tidak melihat bahwa lakon yang dia mainkan untuk keperluan apa, tetapi dia memandang bahwa semua lakon memiliki nilai yang sakral jadi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun Ki Timbul juga menyadari bahwa sudah terjadi suatu perubahan orientasi nilai dalam era urbanisme zaman sekarang, yang ahkirnya berdampak pada kehidupan wayang. Dia tidak larut dalam perubahan zaman tersebut tetapi dia menyikapinya dengan tetap menjalankan dan melakukan lakon-lakon Banjaran dan ruwatan. Karena anggapan dari Ki Tibul sendiri mengatakan kalau para dalang tidak ada yang berani untuk menyikapi perubahan jaman tersebut, dan justru para dalang tersebut ikut larut dalam perkembangan zaman maka kemungkinan besar seni wayang yang adiluhung tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para penggemarnya.

Akhirnya Ki Timbul dikenal sebagai dalang wayang kulit yang sanggup menggelarkan lakon-lakon serius dengan bagus, tetapi tidak menolak menggelarkan lakon-lakon carangan, dan dia juga terkenal sebagai dalang ruwatan, yang langsung berhubungan dengan keselamatan anggota masyarakat Jawa melalui medium wayang kulit.

Ki Timbul Hadiprayitno sebagai seniman mumpuni pada waktu menggelarkan wayang purwa, sebagai “Tabib” yang menyehatkan dan menyelamatkan nasib buntu anak sukerto ketika berperan sebagai dalang Kanda Buwana, sekaligus sebagai cendekiawan lokal dalam komunitas jawa yang mengerti masalah aktual serta menjadi saksi intuitif terhadap proses pergeseran budaya. (Didit P Daladi)

sumber:http://tanahmemerah.wordpress.com/

Mutiara Seni Tari Yogyakarta

Daftar Blog seni dan budaya yogyakarta